Di tengah gaduhnya banjir Sumatra dan deret panjang kerusakan ekologis, publik dikejutkan oleh pernyataan Menteri Kehutanan Raja Juli yang menyatakan akan mencabut izin 20 PBPH—perusahaan pengelola hutan—yang bekerja buruk, dengan total area mencapai 750.000 hektare. Angka itu bukan sekadar statistik. Itu adalah hutan seluas satu provinsi kecil yang dititipkan negara, tetapi justru ditinggalkan tanpa pengelolaan yang memadai.
Langkah Menhut patut diapresiasi. Namun setiap kali pemerintah mencabut izin besar-besaran seperti ini, kita seperti sedang menonton babak akhir sebuah drama panjang. Drama yang naskahnya selalu sama: izin diberikan, pengawasan lemah, kerusakan terjadi, bencana datang, lalu izin dicabut. Siklus itu berputar seperti kaset kusut yang tak pernah diganti.
Pertanyaannya: mengapa negara selalu hadir sebagai “pemutus hubungan” setelah kerusakan terjadi, bukan sebagai pengawas sejak awal? Bukankah setiap izin PBPH sudah disertai rencana kerja, standar pengelolaan, kewajiban restorasi, dan target keberlanjutan? Jika semua itu benar-benar diawasi, mustahil 750.000 hektare terlantar begitu lama sampai butuh tindakan ekstrem seperti pencabutan izin.
Inilah ironi tata kelola sumber daya alam Indonesia: izin terlalu mudah diperoleh, tetapi terlalu jarang diperiksa. Kita seperti negara yang rajin membuka pintu, tapi malas mengecek siapa yang keluar masuk. Ketika hutan rusak, ketika banjir datang, ketika masyarakat menderita—barulah kita sadar bahwa 20 perusahaan itu sudah bertahun-tahun bekerja “di bawah radar.”
Tindakan Menhut memang benar. Tetapi yang lebih benar adalah memastikan tidak perlu lagi ada pencabutan izin sebesar ini di masa depan. Caranya? Pengawasan yang melekat, audit yang ketat, partisipasi warga sekitar, dan regulasi yang tak bisa dinegosiasikan oleh uang dan lobi.
Karena yang harus kita cabut bukan hanya izin perusahaan-perusahaan itu, tetapi juga budaya pembiaran yang membuat hutan seluas 750.000 hektare terlantar tanpa negara benar-benar hadir. (***)

COMMENTS